Pada zaman dahulu datanglah tiga bersaudara yaitu Mbah Goto (Gomerto = Ronggo Tohjoyo), Mbah Ranten (Ratmo Wijoyo) dan Mbah Niah. Diperkirakan ketiga rang tersebut adalah sisa-sisa pasukan Angkatan Laut Mataram yang menyerang VOC Belanda di Batavia.
Batavia (sekarang Jakarta) yang terdampar di laut Jawa. Mereka bertiga melanjutkan perjalanannya menuju kearah selatan hingga sampailah ke sebuah dataran lembah yang luas, diapit dua sungai yaitu sungai kebo dan sungai Gelis. Sepakatlah beliau bertiga menetap sementara dan membangun sebuah Gubug kecil sebagai tempat tinggal. Lalu membuka hutan jati yang ada di sekitarnya, sehingga tampaklah hamparan yang luas di lembah tersebut. Gubug beliau bertiga bila dipandang dari kejauhan tampak seperti kele-kele ditengah oro-oro (kele-kele = istilah Bahasa jawa yaitu sendirian tanpa tetangga, oro-oro = hamparan luas tanpa tanaman). Maka tersebutlah tempat terkenal itu menjadi Dukuh Klero. Berasal dari suku kata Bahasa jawa kele-kele dan oro-oro, sungai yang semula bernama sungai kebo berubahlah menjadi Sungai Klero. Karena letaknya letaknya yang melintasi Dukuh Klero, sampai akhir hayatnya Mbah Gomerto menetap dan dimakamkan di Pedukuhan Klero (Punden Klero).
Cerita lain yang mengisahkan tentang asal usul Klero yaitu kelire loro (identitasnya dua) bahwa beliau bertiga adalah keturunan bangsawan dari kerajaan mataram yang menyamar menjadi rakyat jelata dengan menyembunyikan identitas aslinya, sehingga dinyatakan kelire loro (identitasnya dua) disingkat Klero.
Hari berganti bulan dan tahun, Mbah Ranten membuka lahan sendiri dipnggiran sungai pedut, tepatnya sekarang di sawah Ngledok. Pada suatu hari tempat tinggalnya dilanda banjir, sehingga Mbah Ranten harus mengungsi atau mondok , ketempat yang lebih tinggi sehingga lebih tinggi sehingga terkenalah sampai sekarang sawah pondok. Karena pondok adalah tempat pengungsian, tak beberapa lama mbah manten Ranten memilih tempat baru sebagai tempat tinggal yang aman yaitu ke Gili (Gili=sebuah perbukitan yang cukup tingal bila dipandang dari lembah). Mbah Goto bila memandang perbukitan di sebalah barat tempat tinggalnya menyebutnya tanah Gili. Susah payahnya Mbah Ranten pindah ke Gili sampai noyo-noyo maka tersebutlah Dukuh Gilinoyo. Sampai akhir hayatya Mbah Ranten menetap di Gilinoyo dan dimakaman di Pondok (Punden Pondok).
Demikian juga Mbah Niah adalah 3 saudara yang paling terakhir atau (ruju) dan perempuan. Beliau membangun tempat tinggal di sebalah barat sungai Padut, dan Mbah Goto sering berkunjung menengok saudara perempuannya. Pada suatu hari Mbah Goto sedang berkunjung ke saudaranya setelah menaiki bukit, beliau kelelahan, beristiahatlah di bawah pohon rindang dan ketiduran, beberapa saat kemuadian terbangun diperhatikan ternyata pohon tersebut adalah pohon randu yang sedang semai daunnya sehingga merah semua (abang). Tersebutlah tempat tersebut sampai sekarang dukuh dubang. waktu sudah sore Mbah Goto melanjutkan perjalananya kesebelah Barat Daya Desa ini barangkali saudara perempuanya masih disawah, ternyata setelah sampai saudara perempuanya baru saja meninggalkan tempatnya bercocok tanam.maka Mbah Goto berkata Ruju ora ono tersebutlah tempat tersebut Sawah Juono,berasal dari kalimat sing Ruju ora ono dicarilah kesana kemari saudara perempuanya,dilihat dari kejauhan sawah Juono,Mbah Niah sedang menyebrang Sungai Pedut sedang banjir.Dilihat Mbah Niah hanyut timbul tenggelam disungai Pedut tetapi masih selamat.maka menyebutlah Mbah Goto Klepu jadilah tempat tinggal Mbah Niah dengan sebutan Dukuh Klepu(Klelep masih Kepupu).sampai akhir hayatnya Mbah Niah dimakamkan dipedukuhan Klepu.maka kurang lebih pada tahun 1917 sejak diresmikan pemerintahan Desa Klepu oleh penjajah Belanda dengan petinggi tetap(petinggi Den)yang berasal dari pedukuhan Klepu ditetapkanlah Desa ini dengan sebutan Desa Klepu.dukuh Klepu berubah menjadi Dukuh Klepu Krajan(Dukuh Tempat Tinggal Petinggi.
No comments:
Post a Comment